Dipublikasikan di Bakti News Edisi 148, silahkan cek di sini.
Dalam upaya mencapai Target ke 6 dalam Sustaianable Development Goals pada tahun 2030 yang mana bertujuan untuk terjaminnya akses seluruh warga terhadap air minum dan sanitasi yang layak, pemerintah Indonesia menetapkan target ini dalam Universal access 100-0-100 dalam RPJMN 2015 – 2019, 100% akses sanitasi, 0% kumuh dan 100% akses air minum. Oleh karena itu, ditahun 2019, harapannya tidak ada lagi warga Provinsi NTT yang masih Buang Air Besar Sembarangan (BABS) dan mengalami kesulitan untuk memperoleh air minum. Oleh bappenas, pada tahun 2019 NTT ditargetkan untuk memenuhi akses sanitasi dan air minum 100%. 40% akses layak dan 60% akses dasar, sedangkan untuk akses air minum, 63.4% layak dan 36.6% dasar[1]. Hasil SUSENAS 2016, akses sanitasi layak NTT adalah 40.46% [2], akses air minum layak adalah 60.04% [3], sedangkan data KEMENKES dalam http://stbm-indonesia.org pertanggal 12/10/2017 menunjukkan akses sanitasi NTT adalah 80.31%, artinya masih ada 19.69% masyarakat NTT yang BABS. Berdasarkan tren pencapaian akses sanitasi dan air minum di Provinsi NTT sesuai data BPS 2011 – 2015, rata – rata akses air minum layak di pedesaan 30.8% lebih rendah dari perkotaan, dan rata – rata akses sanitasi layak di pedesaan 29.4% lebih rendah dari perkotaan [4,5]. Oleh karena itu, diperlukan perhatian khusus dalam upaya meningkatkan akses air minum dan sanitasi perdesaan.
Dalam pembangunan Air Minum dan Penyehatah Lingkungan (AMPL), pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan perubahan perilaku sangatlah penting. Lawrence Green mengatakan bahwa kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu: Faktor Perilaku dan Faktor di Luar Perilaku (non perilaku). Green menyatakan bahwa pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah dan menguatkan faktor perilaku [6].
Dalam upaya menjamin adanya perubahan perilaku, pemerintah Indonesia menerapkan program STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) yang menekankan perubahan perilaku melalui metode pemicuan. Metode pemicuan ini jika dilaksanakan dengan benar di desa, maka desa tersebut akan bebas dari perilaku buang air besar sembarangan. Untuk menjamin keberlanjutan program, STBM memiliki beberapa prinsip dasar, yaitu: tanpa subsidi, masyarakat sebagai pemimpin, tidak menggurui/ memaksa, dan totalitas seluruh komponen masyarakat [7].
Sanitasi tanpa perubahan perilaku menyebabkan sarana yang dibangun terbengkalai dan tidak digunakan. Dalam hal ini, sarana yang dibangun hanya menjadi “monumen” saja, tidak digunakan oleh masyarakat karena masyarakat belum sepenuhnya memahami pentingnya sanitasi dan pola hidup bersih dan sehat, ditambah lagi jika sarana yang dibangun belum memilki supply air yang cukup [8][9]. Oleh karena itu, Integrasi pelaksanaan AMPL di desa sangatlah penting untuk menjamin keberlanjutan.
MASALAH
Beberapa masalah terkiat AMPL yang ada di desa:
- Pemberdayaan masyarakat belum menjadi prioritas dalam pembangunan desa
Di Provinsi NTT, total Dana Desa untuk provinsi NTT pada tahun 2016 adalah 1.849 Milyar rupiah. Sebagian digunakan untuk pembangunan, yaitu sebesar 84.34%. Sisanya digunakan untuk pemberdayaan masyarakat 11.95%, penyelenggaraan pemdes 2.35%, dan pembinaan kemasyarakatan 1.36% [10]. Data ini menunjukkan pemberdayaan belum menjadi prioritas dalam pemanfaatan dana desa, yang tentunya terjadi juga dalam hal program pemberdayaan AMPL di desa.
- Masih rendahnya penggalian gagasan terkait AMPL di tingkat dusun/desa
Hal ini dibuktikan oleh masih rendahnya pengalokasian dana desa untuk AMPL. Adapun total dana yang dialokasikan untuk AMPL adalah sebesar 6.9% dari total anggaran dana desa pada tahun 2016 [11]. Rendahnya penggalian gagasan AMPL di tingkat dusun juga dapat disebabkan oleh kurangnya pemahaman pendamping desa terkiat manfaat pembangunan AMPL maupun dalam hal kesesuain pembangunan AMPL dengan peraturan pemanfaatan dana Desa.
- Pembangunan AMPL belum menjamin keberlanjutan
Keberlanjutan suatu program pembangunan sangat bergantung pada pola pendekatan. Pemberdayaan masyarakat dan perubahan perilaku adalah kunci keberhasilan pembangunan AMPL. Salah satu bukti adanya komitmen pada pembangunan AMPL yang berkelanjutan dapat ditelusuri melalui perencanaan dan penganggaran.
- Alokasi dana desa belum menitikberatkan perubahan perilaku sanitasi.
Hal ini dapat dilihat melalui pembangunan sanitasi (Jamban/MCK). Berdasarkan data tahun 2016, ada 13.9 Milyar dana desa yang dialokasikan untuk sanitasi [11].. Berdasarkan hasil analisa data website STBM (http://stbm-indonesia.org/monev/) dengan menggunakan metode clustered random sampling, 73.53 % daerah intervensi dana desa ini yang mendapatkan pemicuan dan 28.82 % belum SBS (Stop Buang Air Besar Sembarangan). Pembangunan MCK bagi masyarakat yang belum berubah perilakunya akan merupakan salah satu penyebab bangunan MCK terbengkalai.
- Belum terbentuknya system pengelolaan sarana air dan sanitasi yang baik
Belum semua desa memiliki sistim pengelolaan sarana yang baik melalui kelompok – kelompok pengguna air ataupun MCK menjamin pemeliharaan sarana yang dibangun.
- Belum adanya integrasi pelaksanaan program AMPL di tingkat desa
Hal ini bisa jadi merupakan akibat dari kurangnya pemahaman stakeholders di desa terkiat potensi – potensi dukungan program AMPL yang dimiliki desa. Belum semua desa mengetahui pentingnya bekerjasama dengan Sanitarian sebagai perwakilan dari Puskesmas yang mendukung pelaksanaan STBM di desa, demikian juga fasilitator PAMSIMAS yang memiliki keahlian teknis terkait pembangunan program air minum.
REKOMENDASI
- Pembekalan pendamping desa tentang pembangunan AMPL.
Pemahaman yang cukup terkait pembangunan AMPL akan membantu pendamping desa dalam melaksanakan tugasnya mendampingi pembangunan desa. Pemahaman terkait manfaat program AMPL, dan akibat buruk jika masyarakat tidak memiliki akses yang layak terhadap air dan sanitasi, serta potensi dukungan AMPL yang dari dari pihak – pihak lain misalnya sanitarian di Puskesmas dan fasilitator PAMSIMAS di Dinas PUPR akan sangat membantu. Oleh karena itu, memahami kesesuaian program AMPL and peraturan pemanfaatan dana desa akan mempermudah pelaksanaan pembangunan AMPL. Dari segi regulasi, dalam PermenDPDTT No 19 tahun 2017 tentang Penetapan Prioritas DD Tahun 2018, bidang AMPL sudah menjadi bagian dari kegiatan prioritas bidang pembangunan desa yang mana dijelaskan dalam peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan sosial dasar. Akses air dan sanitasi juga menjadi bagian dari Indeks Desa Membangun yang tertuang dalam Permendesa No 2 Tahun 2016.
- Mendorong peningkatan pemanfaatan Dana Desa untuk kegiatan AMPL yang berkelanjutan
- Penggunaan dana desa untuk membantu proses pemicuan dalam STBM dan monitoring STBM untuk meningkatkan keberhasilan pelaksanaan STBM di Desa
Hal ini telah dilakukan di desa Kolisia B, Kabupaten Sikka [12]. Pemicuan adalah kunci perubahan perilaku sanitasi. Pemberian subsidi jamban maupun pembangunan mck umum bagi masyarakat yang belum berubah pola pikirnya terkait sanitasi akan memungkinkan terbengkalainya sarana yang dibangun. Jika suatu desa telah dinyatakan SBS, maka dapat dikatakan seluruh warga desa itu telah telah berubah perilakunya dan telah memanfaatkan jamban untuk buang air. Saat warga merasa jamban adalah hal yang penting dengan membangun jamban sederhana untuk keluarganya, dana desa dapat digunakan untuk peningkatan kualitas jamban tersebut. Sehingga bantuan yang diberikan pasti akan digunakan dan tidak mubazir.
- Pengunaan dana desa untuk pengelolaan sumber daya air melalui pembentukan badan pengelola sarana AMPL seperti yang telah dilakukan di desa Kolisia B, Kabupaten Sikka [12]. Pada tingkatan yang lebih tinggi, dengan adanya perdes, badan pengelola saranan AMPL pada akhirnya dapat dijadikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES), dengan sistim sederhana seperti PDAM.
- Jika memungkinkan, SBS dapat dimasukkan sebagai syarat pemenang dalam lomba desa.
- Jika memungkinkan, dengan pendampingan yang baik, dapat diberlakukan Perdes terkait persayarat SBS sebagai syarat bantuan jamban. Hal ini bercontoh dari Desa SBS sebagai syarat pemberian Dana Alokasi Khusus Sanitasi sesuai Permen PU No 33 tahun 2016.
- Meningkatkan kerjasama pendamping desa dengan pelaku AMPL di Desa
- Meningkatkan kerjasama desa dan puskesmas.
Hal ini telah ditegaskan dalam Instruksi Gubernur NTT no 3 Tahun 2015 tentang Pedoman Integrasi Perencanaan Puskesmas dengan Musrembangdes. Kerjasam antara Sanitarian di Puskesmas dan pendamping desa akan mempermudah proses pemicuan dan pecapaian desa SBS
- Kerjasama dengan Fasilitator PAMSIMAS
Fasilitator PAMSIMAS memiliki keahlian teknis dalam merancang Master Plan Air Minum di desa serta desain teknis perencanaan proyek air minum. Program PAMSIMAS juga dapat membantu menyusun Program Jangka Menegah Air dan Sanitasi (PJM Proaksi) yang mana hal ini data diintegrasikan dalam RPJMDes. Hal ini sudah menjadi bagian dari tugas Fasilitator PAMSIMAS untuk mendampingi perencanaan air minum desa dari sumber dana manapun. Sebagai contoh, beberapa Desa di Kabupaten Manggarai telah mendapat bantuan teknis terkait pembangunan sarana air minum serta pelatihan penguatan kelembagaan pengelola sarana air minum yang menggunakan APBDes murni. Adapun desa – desa tersebut adalah Desa Rura, Desa Kentol, Desa Welu, Desa Kakor, Desa Urang, dan Desa Lungar, dengan total dana 1,106 milyar rupiah [13]. Kerjasama seperti ini dapat mempermudah pihak desa untuk menjamin layanan akses air minum bagi seluruh warganya.
SUMBER
[1] Direktorat Permukiman dan Perumahan (BAPPENAS), Agenda Nasional Pembangunan Air Minum dan Sanitasi 2015-2019, (2015).
[2] BPS, Akses Sanitasi Layak NTT, SUSENAS 2016, Kupang, n.d. https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1900.
[3] BPS, Akses Air Minum Layak NTT, SUSENAS 2016, Kupang, n.d. https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1548.
[4] BPS NTT, Statistik Perumahan Nusa Tenggara Timur Tahun 2011-2014, Kupang, 2015.
[5] BPS, Statistik Perumahan Nusa Tenggara Timur, Kupang, 2015.
[6] S. Sarwono, Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya, (n.d.).
[7] Dirjen P2PL, Kurikulum dan Modul Pelatihan Fasilitator STBM Sanitasi Total Berbasis Masyarakat di Indonesia, 2014.
[8] H. Hamid, Sarana MCK yang Telantar Jadi “Monumen Cipta Karya” – perdesaansehat, (n.d.). perdesaansehat.com (accessed September 18, 2017).
[9] A. Gaffar, Respon Masyarakat Terhadap Penyediaan Fasilitas Sanitasi (MCK) Di Kawasan Permukian Nelayan Kelurahan Takatidung Kabupaten Polewali Mandar, UNIVERSITAS DIPONEGORO, 2010.
[10] DPMD, Pemanfaatan Dana Desa Terkait AMPL di NTT, in: Rakor Pokja AMPL Provinsi NTT Kupang, 4 Agustus 2017, n.d.
[11] DPMD Provinsi NTT, Laporan Penggunaan Dana Desa (Prasarana Desa) Tahun 2016, (2016).
[12] POKJA AMPL Provinsi NTT, Hasil Monitoring Implementasi STBM di Kabupaten Fokus Dan Nonfokus UNICEF, Kupang, 2017.
[13] Data PAMSIMAS NTT, (2017).