Pemberdayaan adalah Kunci Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih

Dipublikasikan di waingapu.com silahkan cek  di sini.

Air bukan saja kebutuhan pokok manusia, tetapi merupakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, pemerintah haruslah memperhatikan kebutuhan masyarakat akan air, terutama penyediaan air bersih. Banyak program yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan air. Walaupun telah banyak program yang dilaksanakan, pertanyaan paling penting adalah berapa banyak program yang berhasil, dan berapa banyak masyarakat yang telah meikmati sarana air bersih yang ada. Dengan melihat tingkat keberhasilan program dan kondisi masyarakat, kita dapat menganalisa metode mana yang paling tepat untuk  diterapakan di Sumba, terkhususnya di Kabupaten Sumba Barat sebagai fokus studi kasus penulis. Penulis akan membandingkan dua program yang memilki fokus pada penyediaan sarana air bersih di Kabupaten Sumba Barat, Program Air Bersih (ProAir) dan Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS).

ProAir merupakan program kerjasama pemerintah Kabupaten Sumba Barat dan pemerintah Jerman melalui lembaga Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ). Program ini memiliki fokus untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan air dan sanitasi. Program ini dapat dikatakan menganut sistem perberdayaan optimal, karena walaupun membutuhkan dana bantuan Jerman untuk pembangunan sarana, tetapi proses yang dijalani sangat melibatkan masyarakat. Waktu persiapan pra pembangunan sarana membutuhkan kurang lebih 1 tahun untuk membentuk pola pikir masyarakat penerima bantuan akan pentingnya rasa tanggung jawab dan rasa memiliki. Masa pendampingan setelah sarana dibangun adalah selama satu tahun untuk penguatan kelembangaan masyarakat pengelola operasional dan pemeliharaan sarana yang dananya bersumber dari iuran masyarakat. Walaupun program ini telah selesai masanya di tahun 2008, tetapi sampai kini sarana air bersih berupa jaringan perpipaan, bak pembagi dan tugu kran, masih dalam kondisi baik, di seluruh desa intervensi ProAir sehingga masyarakat masih dapat menikmati air bersih.

Yang kedua adalah program PAMSIMAS. Jika kita memperhatikan dengan program PAMSIMAS, program pemerintah yang juga berfokus pada masalah air dan sanitasi, dapat dikatakan bahwa program ini kurang berhasil. Sejak tahun 2008 sampai 2013, dari 65 desa intervensi PAMSIMAS, terdapat 40 desa yang sarana air bersihnya sudah tidak berfungsi lagi. Terdapat dua alasan utama akan kegagalan program PAMSIMAS di 40 desa ini.

Alasan pertama adalah rendahnya rasa memiliki masyarakat terhadap sarana yang ada, sehingga banyak pipa dan pompa air yang hilang. Alasan kedua ialah kurangnyarasa tanggungjawab, masyarakat tidak lagi mengumpulkan iuran untuk biaya operasional dan pemeliharaan, sehingga sarana yang ada menjadi rusak dan tidak dapat digunakan lagi. Jika melihat kondisi ini, dapat dikatakan bahwa permasalahan yang ada berasal dari kurangnya rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat terhadap sarana yang ada. Jika diselidiki lebih jauh, dapat diketahui bahwa kesimpulan ini mungkin terjadi karena waktu sosialisasi dan pendampingan terhadap masyarakat yang relatif singkat dari pihak fasilitator PAMSIMAS.

Karena PAMSIMAS merupakan program pemerintah, PAMSIMAS merupakan suatu program strategis yang sangat penting karena memilki nilai keberlanjutan yang tinggi dibantingkan ProAir yang hanya bersifat sementara. Namun, berdasarkan pemaparan penulis sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kegagalan program ini terletak pada nilai pemberdayaannya yang rendah. Jika dibandingkan dengan ProAir, alokasi waktu pada proses pendampingan masyarakat sangatlah kecil, padahal pendampingan masyarakat adalah yang utama. Melalui proses sosialisasi yang tepat, masyarakat akan menyadari bahwa mereka sangatlah membutuhkan air bersih. Dengan adanya kesadaran tersebut, akan lebih mudah untuk meningkatkan rasa memilki dan tanggung jawab masyarakat terhadap sarana yang telah dibangun. Pendampingan terhadap organinasi masyarakat pengelola operasional dan pemeliharaan sarana juga penting demi keberlanjutan pemanfaatan sarana yang ada.

Pembangunan sarana air bersih memang penting, tetapi perubahan pola pikir masyarakat adalah yang utama. Tanpa perubahan pola pikir, pemecalah masalah air bersih di Sumba Barat dan Sumba pada umumnya, tidak akan pernah terselesaikan. Oleh karena itu, dalam mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan air bersih, metode pemberdayaan masyarakat adalah kunci utama. Pemberdayaan dalam hal ini adalah proses pendampingan kepada masyarakat untuk memampukan mereka mengatasi masalahnya sendiri.

Dana Desa untuk Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

Dipublikasikan di Bakti News Edisi 148, silahkan cek di sini.

Dalam upaya mencapai Target ke 6 dalam Sustaianable Development Goals pada tahun 2030 yang mana bertujuan untuk terjaminnya akses seluruh warga terhadap air minum dan sanitasi yang layak, pemerintah Indonesia menetapkan target ini dalam Universal access 100-0-100 dalam RPJMN 2015 – 2019, 100% akses sanitasi, 0% kumuh dan 100% akses air minum. Oleh karena itu, ditahun 2019, harapannya tidak ada lagi warga Provinsi NTT yang masih Buang Air Besar Sembarangan (BABS) dan mengalami kesulitan untuk memperoleh air minum. Oleh bappenas, pada tahun 2019 NTT ditargetkan untuk memenuhi akses sanitasi dan air minum 100%. 40% akses layak dan 60% akses dasar, sedangkan untuk akses air minum, 63.4% layak dan 36.6% dasar[1]. Hasil SUSENAS 2016, akses sanitasi layak NTT adalah 40.46% [2], akses air minum layak adalah 60.04% [3], sedangkan data KEMENKES dalam http://stbm-indonesia.org pertanggal 12/10/2017 menunjukkan akses sanitasi NTT adalah 80.31%, artinya masih ada 19.69% masyarakat NTT yang BABS. Berdasarkan tren pencapaian akses sanitasi dan air minum di Provinsi NTT sesuai data BPS 2011 – 2015, rata – rata akses air minum layak di pedesaan 30.8% lebih rendah dari perkotaan, dan rata – rata akses sanitasi layak di pedesaan 29.4% lebih rendah dari perkotaan [4,5]. Oleh karena itu, diperlukan perhatian khusus dalam upaya meningkatkan akses air minum dan sanitasi perdesaan.

Dalam pembangunan Air Minum dan Penyehatah Lingkungan (AMPL), pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan perubahan perilaku sangatlah penting. Lawrence Green mengatakan bahwa kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu: Faktor Perilaku dan Faktor di Luar Perilaku (non perilaku). Green menyatakan bahwa pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah dan menguatkan faktor perilaku [6].

Dalam upaya menjamin adanya perubahan perilaku, pemerintah Indonesia menerapkan program STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) yang menekankan perubahan perilaku melalui metode pemicuan. Metode pemicuan ini jika dilaksanakan dengan benar di desa, maka desa tersebut akan bebas dari perilaku buang air besar sembarangan. Untuk menjamin keberlanjutan program, STBM memiliki beberapa prinsip dasar, yaitu: tanpa subsidi, masyarakat sebagai pemimpin, tidak menggurui/ memaksa, dan totalitas seluruh komponen masyarakat [7].

Sanitasi tanpa perubahan perilaku menyebabkan sarana yang dibangun terbengkalai dan tidak digunakan. Dalam hal ini, sarana yang dibangun hanya menjadi “monumen” saja, tidak digunakan oleh masyarakat karena masyarakat belum sepenuhnya memahami pentingnya sanitasi dan pola hidup bersih dan sehat, ditambah lagi jika sarana yang dibangun belum memilki supply air yang cukup [8][9]. Oleh karena itu, Integrasi pelaksanaan AMPL di desa sangatlah penting untuk menjamin keberlanjutan.

MASALAH

Beberapa masalah terkiat AMPL yang ada di desa:

  1. Pemberdayaan masyarakat belum menjadi prioritas dalam pembangunan desa

Di Provinsi NTT, total Dana Desa untuk provinsi NTT pada tahun 2016 adalah 1.849 Milyar rupiah. Sebagian digunakan untuk pembangunan, yaitu sebesar 84.34%. Sisanya digunakan untuk pemberdayaan masyarakat 11.95%, penyelenggaraan pemdes 2.35%, dan pembinaan kemasyarakatan 1.36% [10]. Data ini menunjukkan pemberdayaan belum menjadi prioritas dalam pemanfaatan dana desa, yang tentunya terjadi juga dalam hal program pemberdayaan  AMPL di desa.

  1. Masih rendahnya penggalian gagasan terkait AMPL di tingkat dusun/desa

Hal ini dibuktikan oleh masih rendahnya pengalokasian dana desa untuk AMPL. Adapun total dana yang dialokasikan untuk AMPL adalah sebesar 6.9% dari total anggaran dana desa pada tahun 2016 [11]. Rendahnya penggalian gagasan AMPL di tingkat dusun juga dapat disebabkan oleh kurangnya pemahaman pendamping desa terkiat manfaat pembangunan AMPL maupun dalam hal kesesuain pembangunan AMPL dengan peraturan pemanfaatan dana Desa.

  1. Pembangunan AMPL belum menjamin keberlanjutan

Keberlanjutan suatu program pembangunan sangat bergantung pada pola pendekatan. Pemberdayaan masyarakat dan perubahan perilaku adalah kunci keberhasilan pembangunan AMPL. Salah satu bukti adanya komitmen pada pembangunan AMPL yang berkelanjutan dapat ditelusuri melalui perencanaan dan penganggaran.

  • Alokasi dana desa belum menitikberatkan perubahan perilaku sanitasi.

Hal ini dapat dilihat melalui pembangunan sanitasi (Jamban/MCK). Berdasarkan data tahun 2016, ada 13.9 Milyar dana desa yang dialokasikan untuk sanitasi [11].. Berdasarkan hasil analisa data website STBM (http://stbm-indonesia.org/monev/) dengan menggunakan metode clustered random sampling, 73.53 % daerah intervensi dana desa ini yang mendapatkan pemicuan dan  28.82 % belum SBS (Stop Buang Air Besar Sembarangan). Pembangunan MCK bagi masyarakat yang belum berubah perilakunya akan  merupakan salah satu penyebab bangunan MCK terbengkalai.

  • Belum terbentuknya system pengelolaan sarana air dan sanitasi yang baik

Belum semua desa memiliki sistim pengelolaan sarana yang baik melalui kelompok – kelompok pengguna air ataupun MCK menjamin pemeliharaan sarana yang dibangun.

  1. Belum adanya integrasi pelaksanaan program AMPL di tingkat desa

Hal ini bisa jadi merupakan akibat dari kurangnya pemahaman stakeholders di desa terkiat potensi – potensi dukungan program AMPL yang dimiliki desa. Belum semua desa mengetahui pentingnya bekerjasama dengan Sanitarian sebagai perwakilan dari Puskesmas yang mendukung pelaksanaan STBM di desa, demikian juga fasilitator PAMSIMAS yang memiliki keahlian teknis terkait pembangunan program air minum.

REKOMENDASI

  1. Pembekalan pendamping desa tentang pembangunan AMPL.

Pemahaman yang cukup terkait pembangunan AMPL akan membantu pendamping desa dalam melaksanakan tugasnya mendampingi pembangunan desa. Pemahaman terkait manfaat program AMPL, dan akibat buruk jika masyarakat tidak memiliki akses yang layak terhadap air dan sanitasi, serta potensi dukungan AMPL yang dari dari pihak – pihak lain misalnya sanitarian di Puskesmas dan fasilitator PAMSIMAS di Dinas PUPR akan sangat membantu. Oleh karena itu, memahami kesesuaian program AMPL and peraturan pemanfaatan dana desa akan mempermudah pelaksanaan pembangunan AMPL. Dari segi regulasi, dalam PermenDPDTT No 19 tahun 2017 tentang Penetapan Prioritas DD Tahun 2018, bidang AMPL sudah menjadi bagian dari kegiatan prioritas bidang pembangunan desa yang mana dijelaskan dalam peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan sosial dasar. Akses air dan sanitasi juga menjadi bagian dari Indeks Desa Membangun yang tertuang dalam Permendesa No 2 Tahun 2016.

  1. Mendorong peningkatan pemanfaatan Dana Desa untuk kegiatan AMPL yang berkelanjutan
  • Penggunaan dana desa untuk membantu proses pemicuan dalam STBM dan monitoring STBM untuk meningkatkan keberhasilan pelaksanaan STBM di Desa

Hal ini telah dilakukan di desa Kolisia B, Kabupaten Sikka [12]. Pemicuan adalah kunci perubahan perilaku sanitasi. Pemberian subsidi jamban maupun pembangunan mck umum bagi masyarakat yang belum berubah pola pikirnya terkait sanitasi akan memungkinkan terbengkalainya sarana yang dibangun. Jika suatu desa telah dinyatakan SBS, maka dapat dikatakan seluruh warga desa itu telah telah berubah perilakunya dan telah memanfaatkan jamban untuk buang air. Saat warga merasa jamban adalah hal yang penting dengan membangun jamban sederhana untuk keluarganya, dana desa dapat digunakan untuk peningkatan kualitas jamban tersebut. Sehingga bantuan yang diberikan pasti akan digunakan dan tidak mubazir.

  • Pengunaan dana desa untuk pengelolaan sumber daya air melalui pembentukan badan pengelola sarana AMPL seperti yang telah dilakukan di desa Kolisia B, Kabupaten Sikka [12]. Pada tingkatan yang lebih tinggi, dengan adanya perdes, badan pengelola saranan AMPL pada akhirnya dapat dijadikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES), dengan sistim sederhana seperti PDAM.
  • Jika memungkinkan, SBS dapat dimasukkan sebagai syarat pemenang dalam lomba desa.
  • Jika memungkinkan, dengan pendampingan yang baik, dapat diberlakukan Perdes terkait persayarat SBS sebagai syarat bantuan jamban. Hal ini bercontoh dari Desa SBS sebagai syarat pemberian Dana Alokasi Khusus Sanitasi sesuai Permen PU No 33 tahun 2016.
  1. Meningkatkan kerjasama pendamping desa dengan pelaku AMPL di Desa
  • Meningkatkan kerjasama desa dan puskesmas.

Hal ini telah ditegaskan dalam Instruksi Gubernur NTT no 3 Tahun 2015 tentang Pedoman Integrasi Perencanaan Puskesmas dengan Musrembangdes. Kerjasam antara Sanitarian di Puskesmas dan pendamping desa akan mempermudah proses pemicuan dan pecapaian desa SBS

  • Kerjasama dengan Fasilitator PAMSIMAS

Fasilitator PAMSIMAS memiliki keahlian teknis dalam merancang Master Plan Air Minum di desa serta desain teknis perencanaan proyek air minum. Program PAMSIMAS juga dapat membantu menyusun Program Jangka Menegah Air dan Sanitasi (PJM Proaksi) yang mana hal ini data diintegrasikan dalam RPJMDes. Hal ini sudah menjadi bagian dari tugas Fasilitator PAMSIMAS untuk mendampingi perencanaan air minum desa dari sumber dana manapun. Sebagai contoh, beberapa Desa di Kabupaten Manggarai telah mendapat bantuan teknis terkait pembangunan sarana air minum serta pelatihan penguatan kelembagaan pengelola sarana air minum yang menggunakan APBDes murni. Adapun desa – desa tersebut adalah Desa Rura, Desa Kentol, Desa Welu, Desa Kakor, Desa Urang, dan Desa Lungar, dengan total dana 1,106 milyar rupiah [13]. Kerjasama seperti ini dapat mempermudah pihak desa untuk menjamin layanan akses air minum bagi seluruh warganya.

SUMBER

[1]         Direktorat Permukiman dan Perumahan (BAPPENAS), Agenda Nasional Pembangunan Air Minum dan Sanitasi 2015-2019, (2015).

[2]         BPS, Akses Sanitasi Layak NTT, SUSENAS 2016, Kupang, n.d. https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1900.

[3]         BPS, Akses Air Minum Layak NTT, SUSENAS 2016, Kupang, n.d. https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1548.

[4]         BPS NTT, Statistik Perumahan Nusa Tenggara Timur Tahun 2011-2014, Kupang, 2015.

[5]         BPS, Statistik Perumahan Nusa Tenggara Timur, Kupang, 2015.

[6]         S. Sarwono, Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya, (n.d.).

[7]         Dirjen P2PL, Kurikulum dan Modul Pelatihan Fasilitator STBM Sanitasi Total Berbasis Masyarakat di Indonesia, 2014.

[8]         H. Hamid, Sarana MCK yang Telantar Jadi “Monumen Cipta Karya” – perdesaansehat, (n.d.). perdesaansehat.com (accessed September 18, 2017).

[9]         A. Gaffar, Respon Masyarakat Terhadap Penyediaan Fasilitas Sanitasi (MCK) Di Kawasan Permukian Nelayan Kelurahan Takatidung Kabupaten Polewali Mandar, UNIVERSITAS DIPONEGORO, 2010.

[10]      DPMD, Pemanfaatan Dana Desa Terkait AMPL di NTT, in: Rakor Pokja AMPL Provinsi NTT Kupang, 4 Agustus 2017, n.d.

[11]      DPMD Provinsi NTT, Laporan Penggunaan Dana Desa (Prasarana Desa) Tahun 2016, (2016).

[12]      POKJA AMPL Provinsi NTT, Hasil Monitoring Implementasi STBM di Kabupaten Fokus Dan Nonfokus UNICEF, Kupang, 2017.

[13]      Data PAMSIMAS NTT, (2017).

Akses Sanitasi yang Layak di Sekolah, Kondisi NTT Sungguh Mencengangkan

Tanggal 19 November adalah hari toilet sedunia. Sayangnya, isu toilet atau sanitasi tidak menjadi trending topik pada hari itu. Hanya segelintir orang yang membicarakannya, kebanyakan adalah mereka yang bekerja di bidang sanitasi. Tampaknya tidak banyak yang tahu bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah pelaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS) kedua terbesar di dunia. Bagi sebagian orang, sanitasi masih merupakan urusan “belakang” yang kerap diabaikan.

Sampai saat ini, masalah sanitasi masih belum dipromosikan secara luas. Padahal, para pemimpin dunia yang tergabung dalam PBB menganggap akses sanitasi merupakan salah satu target yang harus dipenuhi tiap negara yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Per 2030, menurut milestone SDGs, setiap negara diharapkan telah mampu mewujudkan 100 persen akses sanitasi bagi warganya.

Indonesia sendiri meletakkan target pencapaian SDGs itu lebih awal, yaitu akhir tahun 2019, sebagaimana diamanatkan dalam RPJMN 2015 – 2019, yang dikenal dengan universal access. Oleh karena itu, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) juga diharapkan akan mampu menyediakan akses sanitasi bagi seluruh warga NTT pada tahun 2019. Indikator utamanya adalah tidak ada lagi warga yang masih melakukan kebiasaan BABS.

 Menurut hasil Sensus 2016, NTT berada pada urutan kedua terendah se-Indonesia untuk akses sanitasi layak. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, sampai bulan November 2017, masih ada 188 ribu rumah tangga di NTT yang belum memiliki jamban. Yang lebih disayangkan, kurangnya perhatian akan masalah sanitasi ini juga terjadi di sekolah. Data pokok pendidikan menunjukkan bahwa pada tahun ajaran 2016/2017, hanya 5,25 persen SD di NTT yang memiliki jamban yang layak, terpisah untuk siswa siswi, dan dalam kondisi baik. Angkanya sedikit meningkat untuk SMP yaitu 8,1 persen, 11,1 persen untuk SMA, 12,7 persen untuk SMK dan 14,7 persen untuk SLB. Artinya, ada sekitar 98 ribu murid di NTT yang tidak memiliki akses untuk jamban yang layak dan terpisah.

Permendiknas No 24 tahun 2007 sebenarnya sudah mengatur rasio jamban ideal di sekolah, yaitu 1 WC per 25 siswa dan 1 WC per 40 siswi. Kenyataannya, di NTT rasionya masih 1 WC per 87 siswa dan 1 WC per 80 siswi. Menurut UNICEF, akses sanitasi yang layak di sekolah merupakan hal yang penting karena kesehatan lingkungan sekolah, terutama tersedianya sanitasi sekolah yang memadai, berhubungan erat dengan peningkatan status kesehatan siswa, kemajuan prestasi pendidikan siswa, mendorong kesetaraan gender, dan menempatkan siswa sebagai agen perubahan.

Hasil studi UNESCO menunjukkan bahwa secara global, 1 dari 5 remaja perempuan putus sekolah dan fasilitas sanitasi yang tidak layak di sekolah menjadi salah satu penyebabnya. Siswa perempuan yang sedang haid merasa lebih nyaman tinggal di rumah dari pada masuk sekolah tanpa fasilitas menstruasi yang memadai.

Murid SD sampai SMA merupakan 27,3 persen dari total penduduk NTT. Bayangkan, generasi penerus bangsa yang akan menjadi agent of change ini tidak memperoleh akses sanitasi yang layak di sekolah sehingga tidak bisa mengembangkan diri secara maksimal di sekolah. Pertanyaan yang mungkin timbul, jika kondisi toilet di sekolah tidak diperhatikan dan siswa terpaksa harus beradaptasi dengan situasi yang ada, apakah mereka akan memperhatikan masalah sanitasi saat mereka menjadi pejabat nanti? Pendeknya, kita akan terus berada dalam lingkaran ketidakpedulian akan sanitasi dan Indonesia akan terus menjadi negara penyumbang perilaku BABS kedua terbanyak di dunia. Sementara NTT mungkin juga akan terus berada pada peringkat kedua terendah akses sanitasi layak.

Sanitasi sekolah harus menjadi urusan semua pihak, dan bukan semata-mata tanggung jawab dari pemerintah melalui sekolah atau dinas pendidikan dan dinas kesehatan. Peningkatan akses sanitasi sekolah perlu diupayakan secara menyeluruh dengan tidak hanya memperhatikan penyediaan infrastuktur, tetapi juga perubahan perilaku.

Lawrence Green dalam teorinya tentang kesehatan masyarakat menyatakan ada dua faktor utama yang sangat berpengaruh yaitu faktor perilaku dan faktor di luar perilaku. Faktor perilaku ini sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat dan norma sosial yang ada. Akses sanitasi sekolah dapat ditingkatkan jika terus dibicarakan dan dipantau. Ada kurang lebih 1,4 juta murid di NTT, jika setiap orang tua murid selalu memperhatikan dan membahas sanitasi sekolah, bukankah hal ini akan menjadi trending topik yang berdampak pada perubahan perilaku?

Pernahkah orang tua murid mengecek toilet anaknya di sekolah? Pernahkah orang tua murid, melalui komite sekolah, mengupayakan agar kondisi toilet di sekolah minimal sama atau lebih baik dari toilet di rumah? Pernahkah peningkatan akses sanitasi di sekolah diusulkan dalam Musrembang baik dari tingkat kelurahan sampai Musrembang kabupaten? Mari pastikan anak sekolah memiliki toilet yang layak sehingga mereka tidak perlu absen hanya karena jamban sekolah yang tidak berfungsi. Dengan demikian, mereka dapat menikmati proses pendidikan secara maksimal di sekolah dan pada akhirnya, menjadi pemimpin-pemimpin di masa depan yang memiliki perhatian terhadap akses sanitasi terutama di lingkungan sekolah. Selamat hari toilet sedunia!

by: Silvia Landa